FILSAFAT DUNIA "ZAINURRAHMANISME"
PEMIKIRAN ZAINURRAHMAN SYEKHAN KALERO AL'ABRAAJ
PEMIKIRAN ZAINURRAHMAN SYEKHAN KALERO AL'ABRAAJ
“Martin Heiddeger berbicara panjang lebar mengenai ada dan waktu dalam kitab rumitnya Sein Und Zeit. Namun Heiddeger tidak menyebut sedikitpun tentang ruang, apalagi mengenai dunia? Inilah Zainurrahman (1983) berbicara mengenai Dunia. Suatu gaya berfilsafat yang bersahaja, namun lebih dari sekedar logis; melainkan juga dapat diterima secara imaniah. Daftarkan diri anda dengan mengirim identitas anda melalui e-mail sastra_kritik@yahoo.com kami pastikan anda selalu mendapatkan pencerahan-pencerahan filosofis, teologis hingga mistis”
BAGIAN I
Dunia adalah ruang dan waktu yang memfasilitasi kita untuk berada. Dunia itu ada yang berbatas dan juga tidak terbatas. Dunia berbataskan ruang dan waktu, sedangan kesadaran bahwa kita “ada” senantiasa menciptakan perluasan dunia kita, sehingga semakin kita memikirkan “ada” maka kita berada dalam dunia tanpa garis batas.
Kesadaran “ada” membuat kita senantiasa dituntut untuk menampilkan “cara berada” kita dalam dunia yang ‘ber-ruang’ dan ‘ber-waktu’ itu. “cara berada” itu senantiasa mengalami perubahan seiring berubahnya dunia berbatas kita. Namun kita sadar bahwa dunia-dunia yang berbeda itu adalah ‘dunia kita’; yang secara pribadi, kita memilikinya. Orang lain tidak pernah menjadi pribadi kita, tidak merasakan apa yang kita rasakan, tak pernah berpikir apa yang kita pikirkan. Tidak ada dua persona dalam satu diri, dan tidak ada dua diri dalam satu persona. Sehingga orang lain tidak pernah memiliki dunia kita, melainkan orang lain dan benda-benda itu merupakan bagian dari ‘dunia berbatas’ kita. Sehingga dunia yang tidak berbatas itu adalah “ada”nya kita sendiri.
Pikiran dan perasaan kita, turut membangun ‘dunia pribadi’ yang bersifat kontemporer. Lebih tepatnya disebut bahwa pikiran dan perasaan menciptakan dan mewarnai dunia kita. Pemikiran dan perasaan menentukan perilaku dan perbuatan kita, perbuatan kita mengalami persesuaian pada cara berada kita. Cara berada kita dituntut oleh ruang dan waktu yang memfasilitasi kita untuk ‘berada’. Sederhananya, kita bertindak karena kita berpikir untuk bertindak, segala tindakan kita jelas ditentukan oleh dunia kita. Jika kampus atau kemahasiswaan adalah dunia anda, maka bukankah anda akan melakukan tindakan sebagai mahasiswa yaitu belajar, meneliti dan mengabdi pada masyarakat. Jika kampus adalah dunia yang memfasilitasi anda untuk berada, maka cara berada anda adalah sebagai mahasiswa. Dengan kesadaran inilah maka anda akan melakukan tindakan-tindakan yang bersesuaian dengan dunia anda. Seorang perampok, jika ditempatkan pada satu sistem dunia yang positif, maka peluang berubah menjadi baik sangat besar.
Batas dunia kita adalah sejauh mata memandang, semampu telinga mendengar, dan sekuat suara kita terdengar dan sebisa kita terlihat. Yang terlihat oleh kita adalah benda-benda yang turut memenuhi dunia kita. Mereka itu ‘ada’ dalam dirinya. Filsafat barat menyebutnya Und Fur Sich. Dan ada dalam dalam imajinasi kita. Interaksi antara kita dan yang ada dalam dunia kita merupakan bentuk dari ‘cara berada’ kita dan ‘cara mengada’ mereka. Seluruh interaksi itu kemudian tersimpan dalam memori dan memunculkan kesadaran lain bahwa ‘mereka ada’. Inilah yang dimaksud oleh Descartes dengan Cogito Ergo Sum.
Kita selalu teringat apa-apa yang ada dalam dunia kita, meskipun melampaui batas “dunia berbatas” kita; namun “mereka” itu “ada” dalam “dunia tak-berbatas” kita. ‘ada’ itu sendiri adalah hadir, dapat disadari, terindrai dan terpikirkan. Saat kita’ada’, maka terciptalah ruang. Kita ‘ada’ dan’ber-ruang’ di dalam waktu. Kita membutuhkan ruang untuk berada, dan ruang itu sendiri adalah environmen yang terkapling dalam waktu di saat kita hadir, di saat kita ada. Waktu itu sendiri adalah kesadaran kita, perasaan kita, bahwa kita ada. Detik, menit, jam, hari dan seterusnya adalah benda-benda dalam waktu, yang diciptakan dan digunakan untuk mengukur ‘keberadaan’ sesuatu dalam suatu dunia. Keberadaan yang terukur itu adalah keberadaan kita dan keberadaan mereka di dalam dunia kita.
Dapat dikatakan bahwa benda-benda di dalam waktu digunakan untuk mengukur “frekuensi ada”, baik ada kita maupun ada mereka. Ingatlah bahwa waktu adalah kesadaran kita, seandainya kita tidak menciptakan benda-benda di dalam waktu, maka “keberadaan” kita tidak akan terukur. Kita tidak akan mengalami kontemporalitas. Tak ada peralihan dan tak ada pergantian, sederhananya tak ada perencanaan.
Pengukur frekuensi ada yang otentik adalah kesadaran dan perasaan, akan tetapi dua pengukur ini individualistis dan egoistis, sehingga harus ada pengukur frekuensi ada yang inotentik, yang adalah benda-benda di dalam waktu itu sendiri, supaya terbentuk sebuah tolok ukur yang sosialistis.
Adanya pengukur frekuensi ada yang inotentik sama sekali tidak mengubah kesadaran dan perasaan, namun kita sendiri yang dengan terpaksa dan akhirnya terbiasa menjadikan diri inotentik. Kita menggunakan pengukur sosialistis, karena kita memang homo-socius, makhluk sosial. Dunia kita terisi oleh diri-diri yang lain yang juga memiliki dunia. Sehingga asosiasi dunia kita dan dunia mereka membentuk sebuah dunia bersama.
BAGIAN II
Bumi merupakan sebuah dunia bersama. Disebut juga sebagai universe. Universalitas atau suatu keumuman. Dunia umum, yang bisa ditinggali atau bisa dimiliki dalam arti dihuni oleh siapa saja…….
BERSAMBUNG…
Bagian II berisi pencerahan filosofis mengenai Dunia Bersama, Dunia dan Kultur Dunia, dan Pembeningan Dunia.
PASTIKAN ANDA TERDAFTAR SEBAGAI ZAINURRAHMANIAN DENGAN REGISTRASI GRATIS DI E-MAIL SASTRA_KRITIK@YAHOO.COM. PEMIKIRAN FILSAFAT YANG TIDAK MENGGADAIKAN IMAN
BIOGRAFI ZAINURRAHMAN
Zainurrahman, lahir di Ternate, Maluku Utara, Indonesia pada tahun 1983. Di masa yang sangat muda (21) tahun telah menjadi pemateri dalam seminar-seminar filsafat yang sering diadakan di Universitas-universitas di Ternate. Bahan-bahan seminarnya sering digunakan para mahasiswa dan aktivis akademisi untuk dijadikan landasan berpikir. Diantara karya-karyanya terdapat beberapa tulisan teologis seperti bukunya yang berjudul "Trinitas dan Nur Muhammad". Kini beliau telah menjadi Guru Besar Ilmu Filsafat postmodernisme di Universitas Oxford. Bahan-bahan yang ada dalam website ini dikumpul oleh para mahasiswa Sastra Universitas Khairun Ternate, guna mengenang jasa dan publikasi ideologi beliau. Seorang Profesor di bidang filsafat, bahkan juga seorang mistikus. Kami bangga menjadi para Zainurrahmanian, karena pemikirannya tidak berdasarkan pertentangan teologis. Empirisme, Rasionalisme dan sufisme terpadu dengan sempurna.
No comments:
Post a Comment